Ngobrol Sendiri

Gengsi itu Mahal

Kemarin aku bersua dan bercengkrama sekian menit bareng kawan lama.  Kami pernah satu kantor di instansi pemerintahan tahun 2014 silam. Waktu itu gaji yang diterima sekitar 200ribu. Ngenes ya?  Maka dari itu, aku dan dia keluar.

Lalu waktu ngobrol ngalor-ngidul, aku tanya temanku : “Fira masih kerja di sana?”

Fira adalah pegawai magang juga sama seperti aku dulu, dia pegawai yang tekun.  Saking tekunnya,  tiap ada pegawai magang lain yang lebih tekun, dia jadi julid hahaha.

“Masih dong sampek sekarang.  Dia paling betah di sana”

“Kalau Sisi?  Masih?” Nah,  Sisi ini juga pegawai magang.  Padahal dia lulusan sarjana tapi dia kekeuh kerja di instansi pemerintahan itu dengan gaji ‘hanya’ 200ribu.  Parahnya,  demi bisa masuk instansi sana,  dia nyogok 30juta T____T

“Sudah, sejak menikah.  Tapi kayaknya belum balik modal. Hihi” kata kawanku. Memang dulu waktu kami ajak Sisi resign dari sana,  dia nolak.  Katanya nunggu balik modal. Uang gelap 30juta itu balik modalnya berapa windu kalau per bulan aja gajinya cuman 200ribu doang -_-+

Iseng-iseng ngitung berapa lama balik modalnya *maklum pengangguran* Kalau bayar 30juta demi gaji 200ribu.  Berarti 30juta : 200ribu = 150 bulan baru bisa balik modal!! 

[BACA JUGA DONG : Tentang Tenaga Honorer]

Hal-hal receh seperti begini sering bikin aku heran.  Kenapa sih orang-orang rela bayar puluhan juta untuk masuk instansi pemerintah sebagai tenaga magang?  Bahkan mereka tau gajinya hanya 200ribu lho. Kalau mereka punya uang buat ‘bayar’ hal-hal seperti itu,  berarti kan mereka bukan termasuk orang-orang melarat.

Aku nggak ngomong tentang tenaga honorer secara umum ya.  Aku ngobrol tentang mereka yang memutuskan nyogok puluhan juta demi hasil yang ratusan ribu. Lalu setelah itu dapat apa?  Dapat gengsi? :((( . Padahal 90% kaum Indonesia tuh kerja buat cari uang, ini malah kerja buang-buang uang. Apalagi status anak magang itu rendahan sekali.  Porsi kerjanya 60% lebih banyak dibanding PNS,  tapi gajinya nggak sampai 1/4 nya PNS.

Waktu tes CPNS beberapa tahun lalu, dengar kabar bahwa ada bimbingan belajar khusus yang bayarnya sekitar 350juta. Bisa ditawar mentok ya 300juta. Ini bukan sekedar kabar burung. Ini memang fakta. Kebetulan yang ikut bimbingan belajar itu aku kenal.  Dia mbelani ke luar pulau jawa hanya demi ikut bimbel itu. Jadi mereka ngafalin soal dan jawaban,  nanti tinggal pilih jawabannya.  Yang nggak habis pikir, mereka berani bayar 350juta untuk jadi PNS itu balik modalnya kapan?  :((

Nggak usah ngobrol masalah dosa.  Anak SD juga tau kalau hal-hal kayak gitu namanya dosa.  Cuma aja, yang muter-muter di kepalaku itu adalah : WHY????

Tidak habis pikir – by TENOR

Why mereka buang-buang uang untuk hal-hal kecil. Oke JIKA : saat mereka daftar CPNS, mereka pilih instansi pemerintah yang gajinya per bulan 10 juta minimal. Mungkin, mungkin balik modalnya agak cepet kalau per bulan gaji 10 juta. Nah,  si kenalan-yang-ikut-bimbel ini pilih instansi yang gaji per bulannya hanya rata-rata (nggak sampai 4 juta).  Apa mereka nggak merasa rugi?  Bayar 350 juta tapi yang didapat malah gaji di bawah 10 juta :(( Kalo aku sih tengsi hahaha.  Sekalian aja daftar di kementrian yang gajinya lebih waw. 

Ada cerita lain lagi nih terkait berani bayar mahal untuk hal-hal kecil.

Dulu tahun 2014 aku dan satu temanku (sebut aja Rina) sempet praktek klinik di salah satu kota kecil di pulau jawa. Aku memutuskan ngekos bareng mbak-mbak dokter cantik yang juga lagi pendidikan di sana. Kami berenam sering makan dan belajar bareng di ruang makan kos. 

Singkat cerita, salah satu dokter cantik yang namanya Bening cerita kalau tiga dari enam dokter disini tuh emang akrab sejak sebelum kuliah kedokteran.

“Oh satu SMA?” tanya Rina.

“Nggak,  kami sama-sama ikut bimbingan pak Han”

JADI. 

Pak Han adalah dosen di salah satu universitas negeri favorit.  Akreditasinya A untuk jurusan kedokteran. Pak Han punya lembaga bimbingan belajar yang biayanya nggak murah.  Berkisar 150 juta sampai 300 juta tergantung tingkat kesulitan.  Mayoritas muridnya itu memang anak sultan yang ngotot pingin masuk kuliah kedokteran. Entah Kedokteran Gigi atau Kedokteran Umum. Syarat jadi siswa didiknya tuh,  harus mau menginap di mess yang udah disediakan. Dilarang bawa keluar soal-soal dari mess. Harga bimbel sesuai tingkat kesulitan.  Yang termurah adalah mereka yang belajar 1000 soal, hapalin jawabannya, lalu saat ujian tinggal contreng-conteng dengan urutan soal yang acak. Kalau harga termahal,mereka sudah betul-betul dapat bocoran soal yang akan keluar saat tes masuk kedokteran nanti.  Urutan soal sesuai dengan kisi-kisi.  Tinggal ngapalin aja no 1 jawaban B, no 2 jawab D dan lain sebagainya. Sejujurnya wajar sih kalau mahasiswa kedokteran merogoh banyak rupiah.  Wajar bukan berarti menghalalkan lo yaaa! Wajar maksudnya beberapa orang kebanyakan memang rela rogoh banyak rupiah demi jadi dokter atau jadi Polisi dan sejenisnya.

Adalah Rina yang bikin aku tercengang hahaha.  Beberapa minggu setelah lulus kuliah diploma, dia memutuskan ikut bimbingan Pak Han. Kupikir dia mau memulai semua dari nol.  Jadi mahasiwa baru kedokteran.  Ternyata enggak! Dia mau masuk Fakultas Kesehatan Masyarakat yang — tanpa bimbingan Pak Han pun sebenernya pasti lolos. Maksudku, kenapa harus buang uang 200 juta untuk hal-hal seperti itu?  Bahkan 80% teman kampus rata-rata lolos masuk FKM tanpa ikut bimbingan Pak Han. Mungkin ada yang berpikir : “Rina bodoh mungkin?  Makanya dia memutuskan ikut bimbel karena nggak PD”

Jawabannya : Enggak!  IpKnya cumloude :)) Dia rajin belajar pun.  Aktif di kampus.  Dan pokoknya tanpa Pak Han,  aku yakin mah dia pasti lolos!  *sok teu*

Sampai rasanya aku pingin meso-meso dalam hati. “Ihhh kok goblok banget duit segitu dibuang-buang”. Lalu sedetik kemudian aku sadar. Ada yang lebih tolol dan goblok dibanding Sisi dan Rina. Yaitu orang yang punya banyak waktu luang untuk menilai dan berkomentar tentang keputusan orang lain. Orang itu adalah : AKU!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *